*SEBUAH KOREKSI*
*Makna 'IDUL FITHRI bukan Kembali Suci.*
Makna lafadz Idul Fithri memang bukan kembaliًً menjadi suci. Meskipun memang ada sedikit kemiripan dari dua kata itu, namun sebenarnya keduanya punya makna yang lain.
Justru karena kemiripan inilah makanya banyak orang silap dan keliru memaknainya. Bahkan para reposter televisi nasional kita pun latah ikut-ikutan keliru juga. Malah tidak sedikit para ustadz dan penceramah yang ikut-ikutan menyebarkan kekeliruan massal ini ini tanpa tahu ilmu dan sumbernya.
Makna 'Ied' Bukan Kembali
Kata 'Ied' (عيد) dalam Iedul Fithri sama sekali bukan kembali. Dalam bahasa Arab, Ied (عيد) berarti hari raya. Bentuk jamaknya a'yad (أعياد). Maka setiap agama punya Ied atau hari raya sendiri-sendiri.
Dalam bahasa Arab, hari Natal yang dirayakan umat Nasrani disebut dengan Iedul Milad (عيد الميلاد), yang artinya hari raya kelahiran. Maksudnya kelahiran Nabi Isa alaihissalam. Mereka merayakan hari itu sebagai hari raya resmi agama mereka.
Hari-hari kemerdekaan suatu negeri dalam bahasa Arab sering disebut dengan Iedul Wathan (عيد الوطن). Memang tidak harus selalu hari kemerdekaan, tetapi maksudnya itu adalah hari besar alias hari raya untuk negara tersebut.
Lalu kenapa banyak orang mengartikan Ied sebagai 'kembali'?
Nah itulah masalahnya. Banyak orang kurang mengerti bahasa Arab, sehingga bentuk sharf dari suatu kata sering terpelintir dan terbolak-balik tidak karuan.
Dalam bahasa Arab, kata kembali adalah'aada - ya'uudu -'audatan (عاد - يعود - عودة). Memang sekilas hurufnya rada mirip, tetapi tentu saja berbeda jauh maknanya dari 'ied. Jadi kalau maksudnya mau bilang kembali, jangan sebut 'ied tetapi sebutlah 'audah.
Sayangnya, banyak ustadz, kiyai dan penceramah yang rada gegabah dalam masalah ini. Sudah salah dan keliru, bicaranya di layar kaca pula, ditonton jutaan pasang mata orang awam. Maka kekeliruan itu pun terjadi secara 'masif, terstruktur dan sistematis'.
Makna Kata Fithri Juga Bukan Suci
Dalam bahasa Arab kita mengenal dua kata yang nyaris mirip tetapi berbeda, yaitu fithrah (فطرة) dan fithr (فطر).
1. Makna Fithrah
Yang pertama adalah kata fithrah (فطرة). Jumlah hurufnya ada empat yaitu fa', tha', ra' dan ta' marbuthah. Umumnya fithrah diartikan oleh para ulama sebagai kesucian atau juga bermakna agama Islam. Seperti hadits berikut ini :
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأْظْفَارِ وَغَسْل الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإْبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ
Ada sepuluh hal dari fitrah (kesucian), yaitu memangkas kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), potong kuku, membersihkan ruas jari-jemari, mencabut bulu ketiak, mencukup bulu kemaluan dan istinjak (cebok) dengan air. ” (HR. Muslim).
Dan juga bermakna agama Islam, sebagimana hadits berikut ini :
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ وُلِدَ عَلىَ الفِطْرَةِ أَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِهِ
Tidak ada kelahiran bayi kecuali lahir dalam keadaan fitrah (muslim). Lalu kedua orang tuanya yang akan menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi. (HR. Muslim)
2. Makna Fithr
Sedangkan kata fithr (فطر) sangat berbeda maknnya dari kata fithrah. Memang sekilas keduanya punya kemiripan. Tetapi coba perhatikan baik-baik, ternyata kata fithr itu hurufnya cuma ada tiga saja, yaitu fa', tha' dan ra',tanpa tambahan huruf ta' marbuthah di belakangnya.
Apakah perbedaan huruf ini mempengaruhi makna?
Jawabnya tentu saja mempengaruhi makna. Keduanya punya makna yang berbeda dan amat jauh perbedaannya.
Dalam bahasa Arab, kata fitrh (فطر) bermakna makan atau makanan dan bukan suci ataupun keislaman. Pembentukan kata dasar ini bisa menjadi makan pagi, yaitu fathur (فطور), dan juga bermakna berbuka puasa, yaitu ifthar (إفطار).
Disinilah banyak orang yang rancu dan kurang bisa membedakan makna. Dikiranya fithr itu sama saja dengan fithrah. Sehingga dengan ceroboh diartinya seenaknya menjadi kembali kepada fitrah.
Coba perhatikan, betapa banyak kita menyaksikan kekeliruan demi kekeliruan yang dipajang dengan bangga, padahal keliru. Baliho yang dipasang, kartu ucapan selamat, bahkan SMS yang dikirimkan, termasuk televisi nasional ramai-ramai menganut kekeliruan massal ini, tanpa pernah teliti dan bertanya kepada ahlinya.
Makna Idul Fithr
Kalau kita jujur dengan istilah aslinya, sesungguhnya kata 'Idul Fithri' itu bukan bermakna kembali kepada kesucian. Tetapi yang benar adalah Hari Raya Makanan.
Dan hari raya Islam yang satunya lagi adalah Idul Adha, tentu maknanya bukan kembali kepada Adha, sebab artinya akan jadi kacau balau. Masak kembali kepada hewan qurban? Idul Adha artinya adalah hari raya qurban (hewan sembelihan).
Bahwa setelah sebulan berpuasa kita harus kembali menjadi suci, mencusikan hati, mensucikan pikiran dan mensucikan semuanya, tentu memang harus. Cuma, jangan kemudian main paksa istilah yang kurang tepat. Mentang-mentang kita harus kembali suci, lalu ungkapan 'Idul Fithri' dipaksakan berubah makna menjadi 'kembali suci'.
Hari Raya Makan?
Ya memang sejatinya pada hari itu umat Islam diwajibkan untuk makan dan haram untuk berpuasa. Berpuasa para tanggal 1 Syawwal justru haram dan berdosa bisa dilakukan.
Dan sunnahnya, makan yang menjadi ritual itu dilakukan justru sebelum kita melaksanakan shalat Idul Fithri. Lihat tulisan sebelumnya : Makan Dulu Sebelum Shalat Iedul Fithri
Dan oleh karena itulah kita mengenal syariat memberi zakat al-fithr, yang maknanya adalah zakat dalam bentuk makanan. Tujuannya sudah jelas, agar tidak ada yang tersisa dari orang miskin yang berpuasa hari itu dengan alasan tidak punya makanan. Dengan adanya zakat al-fithr, maka semua orang bisa makan di hari itu.
Dan hari raya umat Islam disebut dengan 'Iedul Fithr, yang secara harfiyah bermakna hari raya untuk makan.
Wallahu a'lam bishshawab
PARA SALAF SAAT DI HARI IED
Sejumlah sahabat Sufyan ats-Tsauri berkata : Kami keluar di hari Ied bersama beliau, lalu beliau berkata :
ﺇِﻥَّ ﺃَﻭَّﻝَ ﻣَﺎ ﻧَﺒْﺪَﺃُ ﺑِﻪِ ﻓِﻲ ﻳَﻮْﻣِﻨَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻏَﺾُّ ﺍﻟْﺒَﺼَﺮِ
“Sesungguhnya hal yang pertama kali kami lakukan di hari Ied ini adalah, menundukkan pandangan.”
[At-Tabshiroh karya Ibnul Jauzî hal 106]
Hassân bin Abî Sinân ketika pulang dari sholat Ied ditanya isterinya :
ﻛﻢ ﻣﻦ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺣﺴﻨﺎﺀ ﻗﺪ ﺭﺃﻳﺖ؟
“Berapa banyak wanita cantik yang telah kau pandangi?”
Beliau menjawab :
ﻣﺎ ﻧﻈﺮﺕ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺇﺑﻬﺎﻣﻲ ﻣﻨﺬ ﺧﺮﺟﺖ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺭﺟﻌﺖ
“Saya tidak melihat apapun semenjak saya keluar sampai saya balik pulang kecuali melihat jempol kakiku saja.”
[At-Tabshiroh karya Ibnul Jauzî hal 106]
Dari Abî Marwân Maula Banî Tamîm, beliau bercerita :
: ﺍﻧﺼﺮﻓﺖ ﻣﻊ ﺻﻔﻮﺍﻥ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﺇﻟﻰ ﻣﻨﺰﻟﻪ ﻓﺠﺎﺀ ﺑﺨﺒﺰ ﻳﺎﺑﺲ ﻓﺠﺎﺀ ﺳﺎﺋﻞ ﻓﻮﻗﻒ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﺎﺏ ﻭﺳﺄﻝ ﻓﻘﺎﻡ ﺻﻔﻮﺍﻥ ﺇﻟﻰ ﻛﻮّﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﻓﺄﺧﺬ ﻣﻨﻬﺎ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺄﻋﻄﺎﻩ ﻓﺎﺗّﺒﻌﺖ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺴﺎﺋﻞ ﻷﻧﻈﺮ ﻣﺎ ﺃﻋﻄﺎﻩ . ﻓﺈﺫﺍ ﻫﻮ ﻳﻘﻮﻝ : ﺃﻋﻄﺎﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻓﻀﻞ ﻣﺎ ﺃﻋﻄﻰ ﺃﺣﺪﺍً ﻣﻦ ﺧﻠْﻘﻪ ﻓﻘﻠﺖ ﻣﺎ ﺃﻋﻄﺎﻙ؟ ﻗﺎﻝ : ﺃﻋﻄﺎﻧﻲ ﺩﻳﻨﺎﺭﺍً
“Saya pernah bersama Shofwan bin Sulaim kembali dari Ied menuju ke rumahnya. Beliau datang dengan menyajikan sepotong kue keras. Tak lama kemudian datang seorang peminta-minta berdiri di atas pintu mengemis. Shofwan pun lalu beranjak ke salah satu lubang di rumahnya mengambil sesuatu, kemudian dia memberikannya kepada peminta-minta tersebut. (Karena penasaran) saya pun mengikuti peminta-minta tersebut untuk melihat apa gerangan yang diberikan oleh Shofwan. Setelah bertemu dengannya, peminta-minta itu berkata : “Allah menganugerahkan dia keutamaan yang tidak diberikan kepada seorang pun.” Saya pun bertanya, “apa yang diberikannya kepadamu?” Dia menjawab : “Shofwan memberikan saya Dinar.”
[Shifatush Shofwah I/385].
ﻛَﺎﻥَ ﺣﻤﺎﺩ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﺫَﺍ ﺩُﻧْﻴَﺎ ﻣُﺘَّﺴِﻌَﺔٍ، ﻭَﺃَﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﻔَﻄِّﺮ ﻓِﻲ ﺷَﻬْﺮِ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺧَﻤْﺲَ ﻣﺎﺋَﺔِ ﺇِﻧْﺴَﺎﻥٍ، ﻭَﺃَﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﻌْﻄِﻴْﻬِﻢ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﻌِﻴْﺪِ ﻟِﻜُﻞِّ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ﻣﺎﺋَﺔَ ﺩِﺭْﻫَﻢٍ
Hammâd bin Abî Sulaymân adalah orang yang memiliki kelapangan rezeki. Beliau biasa memberikan makanan berbuka di bulan Ramadhan kepada 500 orang. Saat Ied tiba, beliau memberi kepada setiap orang 100 Dirham.
[Siyar A’lâmin Nubalâ V/530]
‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîr rahimahullâhu pernah keluar di hari Iedul Fithri lalu berkata di dalam khutbahnya :
ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻧﻜﻢ ﺻﻤﺘﻢ ﻟﻠﻪ ﺛﻼﺛﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻗﻤﺘﻢ ﺛﻼﺛﻴﻦ ﻟﻴﻠﺔ ﻭﺧﺮﺟﺘﻢ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺗﻄﻠﺒﻮﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺘﻘﺒﻞ ﻣﻨﻜﻢ
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa selama 30 hari! Kalian telah sholat malam (tarawih) selama 30 hari! Namun kalian semua keluar di hari ini (Iedul Fithri), meminta kepada Allah agar menerima seluruh amalan tersebut dari kalian.
[Lathâ’if al-Ma’ârif hal. 209]
PARA SALAF DI DALAM MEMAKNAI HARI IED
Ibnu Rojab berkata :
ﻟﻴﺲ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﻟﺒﺲ ﺍﻟﺠﺪﻳﺪ، ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﻃﺎﻋﺎﺗﻪ ﺗﺰﻳﺪ، ﻟﻴﺲ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﺗﺠﻤﻞ ﺑﺎﻟﻠﺒﺎﺱ ﻭﺍﻟﺮﻛﻮﺏ، ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﻏﻔﺮﺕ ﻟﻪ ﺍﻟﺬﻧﻮﺏ، ﻓﻲ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﺗﻔﺮﻕ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻌﺘﻖ ﻭﺍﻟﻤﻐﻔﺮﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺒﻴﺪ؛ ﻓﻤﻦ ﻧﺎﻟﻪ ﻣﻨﻬﺎ ﺷﻲﺀ ﻓﻠﻪ ﻋﻴﺪ، ﻭﺇﻻ ﻓﻬﻮ ﻣﻄﺮﻭﺩ ﺑﻌﻴﺪ
“Ied itu bukanlah bagi orang yang berpakaian baru, namun Ied itu adalah bagi orang yang bertambah ketaatannya. Ied itu bukanlah bagi orang yang menghias pakaian dan kendaraannya, namun Ied itu adalah bagi orang yang diampuni dosa-dosanya. Di malam Ied, dibagikan pembebasan dan ampunan bagi para hamba, maka barangsiapa yang meraihnya maka ia mendapatkan Ied, dan siapa yang tidak memperolehnya maka ia terusir jauh.”
[Lathâ’if al-Ma’ârif hal. 277]
Al-Hasan al-Bashri rahimahullâhu berkata :
ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻻ ﻳﻌﺼﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻴﻪ ﻓﻬﻮ ﻋﻴﺪ، ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻳﻘﻄﻌﻪ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﻓﻲ ﻃﺎﻋﺔ ﻣﻮﻻﻩ ﻭﺫﻛﺮﻩ ﻭﺷﻜﺮﻩ ﻓﻬﻮ ﻟﻪ ﻋﻴﺪ
“Setiap hari yang Allah tidak dimaksiati di dalamnya maka itulah sejatinya hari Ied. Setiap hari yang mana setiap mukmin melakukan amal ketaatan kepada Allah, selalu berdzikir dan bersyukur pada-Nya, maka itulah sejatinya hari Ied.”
[Lathâ’if al-Ma’ârif hal. 278]
Seseorang datang menemui Amirul Mu’minin ‘Alî Radhiyallâhu ‘anhu pada hari Iedul Fithri. Lalu ia dapati ‘Ali memakan roti yang sudah keras. Orang itu lalu berkata :
ﻳﺎ ﺃﻣﻴﺮ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ، ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ ﻭﺧﺒﺰ ﺧﺸﻦ !
“Wahai Amirul Mu’minin, sekarang ini hari Ied namun roti yang Anda makan sudah keras (tidak layak)!”
‘Ali pun menimpali :
ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻋﻴﺪ ﻣَﻦ ﻗُﺒِﻞَ ﺻﻴﺎﻣﻪ ﻭﻗﻴﺎﻣﻪ، ﻋﻴﺪ ﻣﻦ ﻏﻔﺮ ﺫﻧﺒﻪ ﻭﺷﻜﺮ ﺳﻌﻴﻪ ﻭﻗﺒﻞ ﻋﻤﻠﻪ، ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻟﻨﺎ ﻋﻴﺪ ﻭﻏﺪًﺍ ﻟﻨﺎ ﻋﻴﺪ، ﻭﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻻ ﻳﻌﺼﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻴﻪ ﻓﻬﻮ ﻟﻨﺎ ﻋﻴﺪ
“Hari ini adalah Ied bagi orang yang diterima puasa dan sholatnya. Ied itu bagi orang yang diampuni dosanya, diapresiasi jerih payahnya dan diterima amalnya. Hari ini dan esok adalah Ied bagi kita. Bahkan setiap hari itu adalah Ied bagi orang yang tidak memaksiati Allah di dalamnya. Inilah Ied kita (yang sesungguhnya).”
Abûl Manshûr asy-Syîrâzî rahimahullâhu di dalam majelis beliau di tanah suci pada hari Ied, pernah berwasiat :
ﻟَﻴْﺲَ ﺍﻟْﻌِﻴﺪُ ﻟِﻤَﻦْ ﻏُﺮِﻑَ ﻟَﻪُ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟْﻌِﻴﺪُ ﻟِﻤَﻦْ ﻏُﻔِﺮَ ﻟَﻪُ
“Ied itu bukanlah bagi orang yang disuguhkan dengan berbagai makanan namun Ied itu adalah bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.”
[Mu’jamus Safar hal 312]
Sebuah kaum pernah melewati seorang pendeta suatu negeri, lalu bertanya kepadanya :
ﻣﺘﻰ ﻋﻴﺪ ﺃﻫﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺪﻳﺮ؟
“Kapan Ied penduduk negeri ini?”
Pendeta itu menjawab :
ﻳﻮﻡ ﻳﻐﻔﺮ ﻷﻫﻠﻪ
“Di hari ketika penduduknya diampuni (maka itulah Ied mereka).”
[Lathâ’if al-Ma’ârif hal. 277]
Al-Ma’mûn pernah berkhutbah di hari Ied mengatakan :
ﻓَﻮَﺍﻟﻠﻪِ ! ﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﻠْﺠِﺪُّ ﻻ ﺍﻟﻠَّﻌِﺐُ، ﻭَﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﻠْﺤَﻖُّ ﻻ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏُ، ﻭَﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﺇِﻻ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕُ ﻭَﺍﻟْﺒَﻌْﺚُ ﻭَﺍﻟْﺤِﺴَﺎﺏُ ﻭَﺍﻟْﻔَﺼْﻞُ ﻭَﺍﻟﺼِّﺮَﺍﻁُ ﺛُﻢَّ ﺍﻟْﻌِﻘَﺎﺏُ ﻭَﺍﻟﺜَّﻮَﺍﺏُ، ﻓَﻤَﻦْ ﻧَﺠَﺎ ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ؛ ﻓَﻘَﺪْ ﻓَﺎﺯَ، ﻭَﻣَﻦْ ﻫَﻮَﻯ ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ؛ ﻓَﻘَﺪْ ﺧَﺎﺏَ، ﺍﻟْﺨَﻴْﺮُ ﻛُﻠُّﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺍﻟﺸَّﺮُّ ﻛُﻠُّﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭ
“Demi Allah! Sesungguhnya waktu ini adalah untuk bersungguh-sungguh bukan untuk bermain-main. Waktu ini untuk kebenaran bukan untuk kedustaan. Dan ia takkan terlepas dari kematian, kebangkitan, perhitungan (hisab), pemisahan (antara orang yang beruntung dan celaka), titian (shirath), kemudian hukuman dan balasan pahala. Barangsiapa yang selamat di hari itu maka ia telah menang. Dan barangsiapa yang terjerembab pada hari itu maka ia telah celaka. Semua kebaikan itu pasti di surga dan semua keburukan pasti di neraka.”
[Al-Mujâlasah wa Jawâhir al-‘Ilm V/146]
Ada sejumlah salaf saat hari Ied, tampak rona kesedihan pada mereka. Lalu orang-orang bertanya :
ﺇﻧﻪ ﻳﻮﻡ ﻓﺮﺡ ﻭﺳﺮﻭﺭ
“Sesungguhnya Ied ini hari kegembiraan dan bersenang-senang.”
Ulama salaf tersebut menjawab :
ﺻﺪﻗﺘﻢ ﻭﻟﻜﻨﻲ ﻋﺒﺪ ﺃﻣﺮﻧﻲ ﻣﻮﻻﻱ ﺃﻥ ﺃﻋﻤﻞ ﻟﻪ ﻋﻤﻼ ﻓﻼ ﺃﺩﺭﻱ ﺃﻳﻘﺒﻠﻪ ﻣﻨﻲ ﺃﻡ ﻻ؟
“Kalian benar. Namun sesungguhnya saya ini hanyalah seorang hamba yang diperintah oleh Tuan saya untuk melakukan suatu amalan yang saya sendiri tidak tahu apakah akan diterimanya atau tidak?.”
[Lathâ’if al-Ma’ârif hal. 209]
Di hari Ied, datanglah puteri-puteri ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz. Mereka berkata kepada ayahnya :
ﻳﺎ ﺃﻣﻴﺮ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ، ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻏﺪًﺍ، ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺛﻴﺎﺏ ﺟﺪﻳﺪﺓ ﻧَﻠْﺒَﺴُﻬﺎ
“Wahai Amirul Mu’minin, besok sudah hari Ied sedangkan kami tidak memiliki pakaian baru untuk bisa kami kenakan.”
‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz pun menjawab :
ﻳﺎ ﺑﻨﺎﺗﻲ، ﻟﻴﺲ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻣﻦ ﻟﺒﺲ ﺍﻟﺠﺪﻳﺪ، ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﺧﺎﻑ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻮﻋﻴﺪ
“Wahai puteri-puteriku, sesungguhnya Ied itu bukanlah dengan berpakaian baru, namun Ied itu adalah bagi orang yang takut dengan hari pembalasan.”
[‘Umar bin Abdil ‘Azîz Kânat Hayâtuhu Mu’jizah karya Muhammad Jum’ah]
Dikisahkan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz melihat puteranya yang bernama ‘Abdul Mâlik mengenakan pakaian usang di hari Ied. Hal ini menyebabkan beliu bercucuran air mata. Putera beliau pun memperhatikan ayahnya yang menangis lalu bertanya :
ﻣﺎ ﻳﺒﻜﻴﻚ ﻳﺎ ﺃﺑﺘﺎﻩ ؟
“Apa yang menyebabkan Anda menangis wahai ayahanda?”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz pun menjawab :
: ﺃﺧﺎﻑ ﺃﻥ ﺗﺨﺮﺝ ﻳﺎ ﺑﻨﻲ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺜﻴﺎﺏ ﺍﻟﺮﺛﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻟﺘﻠﻌﺐ ﻣﻌﻬﻢ ﻓﻴﻨﻜﺴﺮ ﻗﻠﺒﻚ
“Saya khawatir wahai anakku, saat kamu keluar rumah dan bermain dengan anak-anak yang lain, mereka akan memperolokmu sehingga hatimu pun menjadi remuk karenanya.”
‘Abdul Mâlik, putera yang berbakti itupun mengatakan :
ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻨﻜﺴﺮ ﻗﻠﺐ ﻣﻦ ﻋﺼﻰ ﻣﻮﻻﻩ ﻭﻋﻖ ﺃﻣﻪ ﻭﺃﺑﺎﻩ … ﻭﺃﺭﺟﻮ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺭﺍﺿﻴﺎ ﻋﻨﻲ ﺑﺮﺿﺎﻙ ﻋﻨﻲ ﻳﺎ ﺃﺑﻲ …
“Sesungguhnya hakikat hati yang remuk itu adalah apabila seseorang bermaksiat kepada tuhannya dan berbuat durhaka kepada ibu bapaknya. Saya berharap agar Allah meridhaiku melalui keridhaan anda kepadaku wahai ayahanda…”
‘Umar pun memeluk erat anaknya tersebut ke dadanya, mencium dahinya dan mendoakannya., ‘Abdul Mâlik adalah putera ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz yang paling zuhud.
[‘Al-Îd Qulûb Muwahhadah wa ‘Âdât Mukhtalafah]
Diriwayatkan bahwa Imam Mâlik bin Anas rahimahullâhu pernah berkata :
ﻟﻠﻤﺆﻣﻦ ﺧﻤﺴﺔ ﺃﻋﻴﺎﺩ : ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻳﻤﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﻭﻻ ﻳﻜﺘﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺫﻧﺐ ﻓﻬﻮ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ , ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺨﺮﺝ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺑﺎﻹﻳﻤﺎﻥ ﻓﻬﻮ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ , ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺠﺎﻭﺯ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺼﺮﺍﻁ ﻭﻳﺄﻣﻦ ﺃﻫﻮﺍﻝ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻓﻬﻮ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ , ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻓﻬﻮ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ , ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻨﻈﺮ ﻓﻴﻪ ﺇﻟﻰ ﺭﺑﻪ ﻓﻬﻮ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ
“Orang yang beriman memiliki 5 hari Ied :
Setiap hari yang berlalu melewati seorang mu’min dan tidak dicatat baginya perbuatan dosa, maka ini adalah hari Ied.
Hari yang seorang mu’min meninggalkan dunia dengan keimanan, maka ini adalah hari Ied.
Hari yang seorang mu’min bisa melewati titian Shirath dan selamat dari ujian hari kiamat yang mengerikan, maka ini adalah hari Ied.
Hari yang mana seorang mu’min masuk ke dalam surga, maka ini adalah hari Ied.
Dan hari yang mana seorang mu’min bisa memandang wajah Rabb-nya, maka inilah hari Ied.
[Farhatul Ied karya Badr ‘Abdul Hamîd Humaisoh].
*Makna 'IDUL FITHRI bukan Kembali Suci.*
Makna lafadz Idul Fithri memang bukan kembaliًً menjadi suci. Meskipun memang ada sedikit kemiripan dari dua kata itu, namun sebenarnya keduanya punya makna yang lain.
Justru karena kemiripan inilah makanya banyak orang silap dan keliru memaknainya. Bahkan para reposter televisi nasional kita pun latah ikut-ikutan keliru juga. Malah tidak sedikit para ustadz dan penceramah yang ikut-ikutan menyebarkan kekeliruan massal ini ini tanpa tahu ilmu dan sumbernya.
Makna 'Ied' Bukan Kembali
Kata 'Ied' (عيد) dalam Iedul Fithri sama sekali bukan kembali. Dalam bahasa Arab, Ied (عيد) berarti hari raya. Bentuk jamaknya a'yad (أعياد). Maka setiap agama punya Ied atau hari raya sendiri-sendiri.
Dalam bahasa Arab, hari Natal yang dirayakan umat Nasrani disebut dengan Iedul Milad (عيد الميلاد), yang artinya hari raya kelahiran. Maksudnya kelahiran Nabi Isa alaihissalam. Mereka merayakan hari itu sebagai hari raya resmi agama mereka.
Hari-hari kemerdekaan suatu negeri dalam bahasa Arab sering disebut dengan Iedul Wathan (عيد الوطن). Memang tidak harus selalu hari kemerdekaan, tetapi maksudnya itu adalah hari besar alias hari raya untuk negara tersebut.
Lalu kenapa banyak orang mengartikan Ied sebagai 'kembali'?
Nah itulah masalahnya. Banyak orang kurang mengerti bahasa Arab, sehingga bentuk sharf dari suatu kata sering terpelintir dan terbolak-balik tidak karuan.
Dalam bahasa Arab, kata kembali adalah'aada - ya'uudu -'audatan (عاد - يعود - عودة). Memang sekilas hurufnya rada mirip, tetapi tentu saja berbeda jauh maknanya dari 'ied. Jadi kalau maksudnya mau bilang kembali, jangan sebut 'ied tetapi sebutlah 'audah.
Sayangnya, banyak ustadz, kiyai dan penceramah yang rada gegabah dalam masalah ini. Sudah salah dan keliru, bicaranya di layar kaca pula, ditonton jutaan pasang mata orang awam. Maka kekeliruan itu pun terjadi secara 'masif, terstruktur dan sistematis'.
Makna Kata Fithri Juga Bukan Suci
Dalam bahasa Arab kita mengenal dua kata yang nyaris mirip tetapi berbeda, yaitu fithrah (فطرة) dan fithr (فطر).
1. Makna Fithrah
Yang pertama adalah kata fithrah (فطرة). Jumlah hurufnya ada empat yaitu fa', tha', ra' dan ta' marbuthah. Umumnya fithrah diartikan oleh para ulama sebagai kesucian atau juga bermakna agama Islam. Seperti hadits berikut ini :
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأْظْفَارِ وَغَسْل الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإْبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ
Ada sepuluh hal dari fitrah (kesucian), yaitu memangkas kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), potong kuku, membersihkan ruas jari-jemari, mencabut bulu ketiak, mencukup bulu kemaluan dan istinjak (cebok) dengan air. ” (HR. Muslim).
Dan juga bermakna agama Islam, sebagimana hadits berikut ini :
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ وُلِدَ عَلىَ الفِطْرَةِ أَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِهِ
Tidak ada kelahiran bayi kecuali lahir dalam keadaan fitrah (muslim). Lalu kedua orang tuanya yang akan menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi. (HR. Muslim)
2. Makna Fithr
Sedangkan kata fithr (فطر) sangat berbeda maknnya dari kata fithrah. Memang sekilas keduanya punya kemiripan. Tetapi coba perhatikan baik-baik, ternyata kata fithr itu hurufnya cuma ada tiga saja, yaitu fa', tha' dan ra',tanpa tambahan huruf ta' marbuthah di belakangnya.
Apakah perbedaan huruf ini mempengaruhi makna?
Jawabnya tentu saja mempengaruhi makna. Keduanya punya makna yang berbeda dan amat jauh perbedaannya.
Dalam bahasa Arab, kata fitrh (فطر) bermakna makan atau makanan dan bukan suci ataupun keislaman. Pembentukan kata dasar ini bisa menjadi makan pagi, yaitu fathur (فطور), dan juga bermakna berbuka puasa, yaitu ifthar (إفطار).
Disinilah banyak orang yang rancu dan kurang bisa membedakan makna. Dikiranya fithr itu sama saja dengan fithrah. Sehingga dengan ceroboh diartinya seenaknya menjadi kembali kepada fitrah.
Coba perhatikan, betapa banyak kita menyaksikan kekeliruan demi kekeliruan yang dipajang dengan bangga, padahal keliru. Baliho yang dipasang, kartu ucapan selamat, bahkan SMS yang dikirimkan, termasuk televisi nasional ramai-ramai menganut kekeliruan massal ini, tanpa pernah teliti dan bertanya kepada ahlinya.
Makna Idul Fithr
Kalau kita jujur dengan istilah aslinya, sesungguhnya kata 'Idul Fithri' itu bukan bermakna kembali kepada kesucian. Tetapi yang benar adalah Hari Raya Makanan.
Dan hari raya Islam yang satunya lagi adalah Idul Adha, tentu maknanya bukan kembali kepada Adha, sebab artinya akan jadi kacau balau. Masak kembali kepada hewan qurban? Idul Adha artinya adalah hari raya qurban (hewan sembelihan).
Bahwa setelah sebulan berpuasa kita harus kembali menjadi suci, mencusikan hati, mensucikan pikiran dan mensucikan semuanya, tentu memang harus. Cuma, jangan kemudian main paksa istilah yang kurang tepat. Mentang-mentang kita harus kembali suci, lalu ungkapan 'Idul Fithri' dipaksakan berubah makna menjadi 'kembali suci'.
Hari Raya Makan?
Ya memang sejatinya pada hari itu umat Islam diwajibkan untuk makan dan haram untuk berpuasa. Berpuasa para tanggal 1 Syawwal justru haram dan berdosa bisa dilakukan.
Dan sunnahnya, makan yang menjadi ritual itu dilakukan justru sebelum kita melaksanakan shalat Idul Fithri. Lihat tulisan sebelumnya : Makan Dulu Sebelum Shalat Iedul Fithri
Dan oleh karena itulah kita mengenal syariat memberi zakat al-fithr, yang maknanya adalah zakat dalam bentuk makanan. Tujuannya sudah jelas, agar tidak ada yang tersisa dari orang miskin yang berpuasa hari itu dengan alasan tidak punya makanan. Dengan adanya zakat al-fithr, maka semua orang bisa makan di hari itu.
Dan hari raya umat Islam disebut dengan 'Iedul Fithr, yang secara harfiyah bermakna hari raya untuk makan.
Wallahu a'lam bishshawab
PARA SALAF SAAT DI HARI IED
Sejumlah sahabat Sufyan ats-Tsauri berkata : Kami keluar di hari Ied bersama beliau, lalu beliau berkata :
ﺇِﻥَّ ﺃَﻭَّﻝَ ﻣَﺎ ﻧَﺒْﺪَﺃُ ﺑِﻪِ ﻓِﻲ ﻳَﻮْﻣِﻨَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻏَﺾُّ ﺍﻟْﺒَﺼَﺮِ
“Sesungguhnya hal yang pertama kali kami lakukan di hari Ied ini adalah, menundukkan pandangan.”
[At-Tabshiroh karya Ibnul Jauzî hal 106]
Hassân bin Abî Sinân ketika pulang dari sholat Ied ditanya isterinya :
ﻛﻢ ﻣﻦ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺣﺴﻨﺎﺀ ﻗﺪ ﺭﺃﻳﺖ؟
“Berapa banyak wanita cantik yang telah kau pandangi?”
Beliau menjawab :
ﻣﺎ ﻧﻈﺮﺕ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺇﺑﻬﺎﻣﻲ ﻣﻨﺬ ﺧﺮﺟﺖ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺭﺟﻌﺖ
“Saya tidak melihat apapun semenjak saya keluar sampai saya balik pulang kecuali melihat jempol kakiku saja.”
[At-Tabshiroh karya Ibnul Jauzî hal 106]
Dari Abî Marwân Maula Banî Tamîm, beliau bercerita :
: ﺍﻧﺼﺮﻓﺖ ﻣﻊ ﺻﻔﻮﺍﻥ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﺇﻟﻰ ﻣﻨﺰﻟﻪ ﻓﺠﺎﺀ ﺑﺨﺒﺰ ﻳﺎﺑﺲ ﻓﺠﺎﺀ ﺳﺎﺋﻞ ﻓﻮﻗﻒ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﺎﺏ ﻭﺳﺄﻝ ﻓﻘﺎﻡ ﺻﻔﻮﺍﻥ ﺇﻟﻰ ﻛﻮّﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﻓﺄﺧﺬ ﻣﻨﻬﺎ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺄﻋﻄﺎﻩ ﻓﺎﺗّﺒﻌﺖ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺴﺎﺋﻞ ﻷﻧﻈﺮ ﻣﺎ ﺃﻋﻄﺎﻩ . ﻓﺈﺫﺍ ﻫﻮ ﻳﻘﻮﻝ : ﺃﻋﻄﺎﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻓﻀﻞ ﻣﺎ ﺃﻋﻄﻰ ﺃﺣﺪﺍً ﻣﻦ ﺧﻠْﻘﻪ ﻓﻘﻠﺖ ﻣﺎ ﺃﻋﻄﺎﻙ؟ ﻗﺎﻝ : ﺃﻋﻄﺎﻧﻲ ﺩﻳﻨﺎﺭﺍً
“Saya pernah bersama Shofwan bin Sulaim kembali dari Ied menuju ke rumahnya. Beliau datang dengan menyajikan sepotong kue keras. Tak lama kemudian datang seorang peminta-minta berdiri di atas pintu mengemis. Shofwan pun lalu beranjak ke salah satu lubang di rumahnya mengambil sesuatu, kemudian dia memberikannya kepada peminta-minta tersebut. (Karena penasaran) saya pun mengikuti peminta-minta tersebut untuk melihat apa gerangan yang diberikan oleh Shofwan. Setelah bertemu dengannya, peminta-minta itu berkata : “Allah menganugerahkan dia keutamaan yang tidak diberikan kepada seorang pun.” Saya pun bertanya, “apa yang diberikannya kepadamu?” Dia menjawab : “Shofwan memberikan saya Dinar.”
[Shifatush Shofwah I/385].
ﻛَﺎﻥَ ﺣﻤﺎﺩ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﺫَﺍ ﺩُﻧْﻴَﺎ ﻣُﺘَّﺴِﻌَﺔٍ، ﻭَﺃَﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﻔَﻄِّﺮ ﻓِﻲ ﺷَﻬْﺮِ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺧَﻤْﺲَ ﻣﺎﺋَﺔِ ﺇِﻧْﺴَﺎﻥٍ، ﻭَﺃَﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﻌْﻄِﻴْﻬِﻢ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﻌِﻴْﺪِ ﻟِﻜُﻞِّ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ﻣﺎﺋَﺔَ ﺩِﺭْﻫَﻢٍ
Hammâd bin Abî Sulaymân adalah orang yang memiliki kelapangan rezeki. Beliau biasa memberikan makanan berbuka di bulan Ramadhan kepada 500 orang. Saat Ied tiba, beliau memberi kepada setiap orang 100 Dirham.
[Siyar A’lâmin Nubalâ V/530]
‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîr rahimahullâhu pernah keluar di hari Iedul Fithri lalu berkata di dalam khutbahnya :
ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻧﻜﻢ ﺻﻤﺘﻢ ﻟﻠﻪ ﺛﻼﺛﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻗﻤﺘﻢ ﺛﻼﺛﻴﻦ ﻟﻴﻠﺔ ﻭﺧﺮﺟﺘﻢ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺗﻄﻠﺒﻮﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺘﻘﺒﻞ ﻣﻨﻜﻢ
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa selama 30 hari! Kalian telah sholat malam (tarawih) selama 30 hari! Namun kalian semua keluar di hari ini (Iedul Fithri), meminta kepada Allah agar menerima seluruh amalan tersebut dari kalian.
[Lathâ’if al-Ma’ârif hal. 209]
PARA SALAF DI DALAM MEMAKNAI HARI IED
Ibnu Rojab berkata :
ﻟﻴﺲ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﻟﺒﺲ ﺍﻟﺠﺪﻳﺪ، ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﻃﺎﻋﺎﺗﻪ ﺗﺰﻳﺪ، ﻟﻴﺲ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﺗﺠﻤﻞ ﺑﺎﻟﻠﺒﺎﺱ ﻭﺍﻟﺮﻛﻮﺏ، ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﻏﻔﺮﺕ ﻟﻪ ﺍﻟﺬﻧﻮﺏ، ﻓﻲ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﺗﻔﺮﻕ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻌﺘﻖ ﻭﺍﻟﻤﻐﻔﺮﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺒﻴﺪ؛ ﻓﻤﻦ ﻧﺎﻟﻪ ﻣﻨﻬﺎ ﺷﻲﺀ ﻓﻠﻪ ﻋﻴﺪ، ﻭﺇﻻ ﻓﻬﻮ ﻣﻄﺮﻭﺩ ﺑﻌﻴﺪ
“Ied itu bukanlah bagi orang yang berpakaian baru, namun Ied itu adalah bagi orang yang bertambah ketaatannya. Ied itu bukanlah bagi orang yang menghias pakaian dan kendaraannya, namun Ied itu adalah bagi orang yang diampuni dosa-dosanya. Di malam Ied, dibagikan pembebasan dan ampunan bagi para hamba, maka barangsiapa yang meraihnya maka ia mendapatkan Ied, dan siapa yang tidak memperolehnya maka ia terusir jauh.”
[Lathâ’if al-Ma’ârif hal. 277]
Al-Hasan al-Bashri rahimahullâhu berkata :
ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻻ ﻳﻌﺼﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻴﻪ ﻓﻬﻮ ﻋﻴﺪ، ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻳﻘﻄﻌﻪ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﻓﻲ ﻃﺎﻋﺔ ﻣﻮﻻﻩ ﻭﺫﻛﺮﻩ ﻭﺷﻜﺮﻩ ﻓﻬﻮ ﻟﻪ ﻋﻴﺪ
“Setiap hari yang Allah tidak dimaksiati di dalamnya maka itulah sejatinya hari Ied. Setiap hari yang mana setiap mukmin melakukan amal ketaatan kepada Allah, selalu berdzikir dan bersyukur pada-Nya, maka itulah sejatinya hari Ied.”
[Lathâ’if al-Ma’ârif hal. 278]
Seseorang datang menemui Amirul Mu’minin ‘Alî Radhiyallâhu ‘anhu pada hari Iedul Fithri. Lalu ia dapati ‘Ali memakan roti yang sudah keras. Orang itu lalu berkata :
ﻳﺎ ﺃﻣﻴﺮ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ، ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ ﻭﺧﺒﺰ ﺧﺸﻦ !
“Wahai Amirul Mu’minin, sekarang ini hari Ied namun roti yang Anda makan sudah keras (tidak layak)!”
‘Ali pun menimpali :
ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻋﻴﺪ ﻣَﻦ ﻗُﺒِﻞَ ﺻﻴﺎﻣﻪ ﻭﻗﻴﺎﻣﻪ، ﻋﻴﺪ ﻣﻦ ﻏﻔﺮ ﺫﻧﺒﻪ ﻭﺷﻜﺮ ﺳﻌﻴﻪ ﻭﻗﺒﻞ ﻋﻤﻠﻪ، ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻟﻨﺎ ﻋﻴﺪ ﻭﻏﺪًﺍ ﻟﻨﺎ ﻋﻴﺪ، ﻭﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻻ ﻳﻌﺼﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻴﻪ ﻓﻬﻮ ﻟﻨﺎ ﻋﻴﺪ
“Hari ini adalah Ied bagi orang yang diterima puasa dan sholatnya. Ied itu bagi orang yang diampuni dosanya, diapresiasi jerih payahnya dan diterima amalnya. Hari ini dan esok adalah Ied bagi kita. Bahkan setiap hari itu adalah Ied bagi orang yang tidak memaksiati Allah di dalamnya. Inilah Ied kita (yang sesungguhnya).”
Abûl Manshûr asy-Syîrâzî rahimahullâhu di dalam majelis beliau di tanah suci pada hari Ied, pernah berwasiat :
ﻟَﻴْﺲَ ﺍﻟْﻌِﻴﺪُ ﻟِﻤَﻦْ ﻏُﺮِﻑَ ﻟَﻪُ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟْﻌِﻴﺪُ ﻟِﻤَﻦْ ﻏُﻔِﺮَ ﻟَﻪُ
“Ied itu bukanlah bagi orang yang disuguhkan dengan berbagai makanan namun Ied itu adalah bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.”
[Mu’jamus Safar hal 312]
Sebuah kaum pernah melewati seorang pendeta suatu negeri, lalu bertanya kepadanya :
ﻣﺘﻰ ﻋﻴﺪ ﺃﻫﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺪﻳﺮ؟
“Kapan Ied penduduk negeri ini?”
Pendeta itu menjawab :
ﻳﻮﻡ ﻳﻐﻔﺮ ﻷﻫﻠﻪ
“Di hari ketika penduduknya diampuni (maka itulah Ied mereka).”
[Lathâ’if al-Ma’ârif hal. 277]
Al-Ma’mûn pernah berkhutbah di hari Ied mengatakan :
ﻓَﻮَﺍﻟﻠﻪِ ! ﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﻠْﺠِﺪُّ ﻻ ﺍﻟﻠَّﻌِﺐُ، ﻭَﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﻠْﺤَﻖُّ ﻻ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏُ، ﻭَﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﺇِﻻ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕُ ﻭَﺍﻟْﺒَﻌْﺚُ ﻭَﺍﻟْﺤِﺴَﺎﺏُ ﻭَﺍﻟْﻔَﺼْﻞُ ﻭَﺍﻟﺼِّﺮَﺍﻁُ ﺛُﻢَّ ﺍﻟْﻌِﻘَﺎﺏُ ﻭَﺍﻟﺜَّﻮَﺍﺏُ، ﻓَﻤَﻦْ ﻧَﺠَﺎ ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ؛ ﻓَﻘَﺪْ ﻓَﺎﺯَ، ﻭَﻣَﻦْ ﻫَﻮَﻯ ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ؛ ﻓَﻘَﺪْ ﺧَﺎﺏَ، ﺍﻟْﺨَﻴْﺮُ ﻛُﻠُّﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺍﻟﺸَّﺮُّ ﻛُﻠُّﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭ
“Demi Allah! Sesungguhnya waktu ini adalah untuk bersungguh-sungguh bukan untuk bermain-main. Waktu ini untuk kebenaran bukan untuk kedustaan. Dan ia takkan terlepas dari kematian, kebangkitan, perhitungan (hisab), pemisahan (antara orang yang beruntung dan celaka), titian (shirath), kemudian hukuman dan balasan pahala. Barangsiapa yang selamat di hari itu maka ia telah menang. Dan barangsiapa yang terjerembab pada hari itu maka ia telah celaka. Semua kebaikan itu pasti di surga dan semua keburukan pasti di neraka.”
[Al-Mujâlasah wa Jawâhir al-‘Ilm V/146]
Ada sejumlah salaf saat hari Ied, tampak rona kesedihan pada mereka. Lalu orang-orang bertanya :
ﺇﻧﻪ ﻳﻮﻡ ﻓﺮﺡ ﻭﺳﺮﻭﺭ
“Sesungguhnya Ied ini hari kegembiraan dan bersenang-senang.”
Ulama salaf tersebut menjawab :
ﺻﺪﻗﺘﻢ ﻭﻟﻜﻨﻲ ﻋﺒﺪ ﺃﻣﺮﻧﻲ ﻣﻮﻻﻱ ﺃﻥ ﺃﻋﻤﻞ ﻟﻪ ﻋﻤﻼ ﻓﻼ ﺃﺩﺭﻱ ﺃﻳﻘﺒﻠﻪ ﻣﻨﻲ ﺃﻡ ﻻ؟
“Kalian benar. Namun sesungguhnya saya ini hanyalah seorang hamba yang diperintah oleh Tuan saya untuk melakukan suatu amalan yang saya sendiri tidak tahu apakah akan diterimanya atau tidak?.”
[Lathâ’if al-Ma’ârif hal. 209]
Di hari Ied, datanglah puteri-puteri ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz. Mereka berkata kepada ayahnya :
ﻳﺎ ﺃﻣﻴﺮ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ، ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻏﺪًﺍ، ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺛﻴﺎﺏ ﺟﺪﻳﺪﺓ ﻧَﻠْﺒَﺴُﻬﺎ
“Wahai Amirul Mu’minin, besok sudah hari Ied sedangkan kami tidak memiliki pakaian baru untuk bisa kami kenakan.”
‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz pun menjawab :
ﻳﺎ ﺑﻨﺎﺗﻲ، ﻟﻴﺲ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻣﻦ ﻟﺒﺲ ﺍﻟﺠﺪﻳﺪ، ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﺧﺎﻑ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻮﻋﻴﺪ
“Wahai puteri-puteriku, sesungguhnya Ied itu bukanlah dengan berpakaian baru, namun Ied itu adalah bagi orang yang takut dengan hari pembalasan.”
[‘Umar bin Abdil ‘Azîz Kânat Hayâtuhu Mu’jizah karya Muhammad Jum’ah]
Dikisahkan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz melihat puteranya yang bernama ‘Abdul Mâlik mengenakan pakaian usang di hari Ied. Hal ini menyebabkan beliu bercucuran air mata. Putera beliau pun memperhatikan ayahnya yang menangis lalu bertanya :
ﻣﺎ ﻳﺒﻜﻴﻚ ﻳﺎ ﺃﺑﺘﺎﻩ ؟
“Apa yang menyebabkan Anda menangis wahai ayahanda?”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz pun menjawab :
: ﺃﺧﺎﻑ ﺃﻥ ﺗﺨﺮﺝ ﻳﺎ ﺑﻨﻲ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺜﻴﺎﺏ ﺍﻟﺮﺛﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻟﺘﻠﻌﺐ ﻣﻌﻬﻢ ﻓﻴﻨﻜﺴﺮ ﻗﻠﺒﻚ
“Saya khawatir wahai anakku, saat kamu keluar rumah dan bermain dengan anak-anak yang lain, mereka akan memperolokmu sehingga hatimu pun menjadi remuk karenanya.”
‘Abdul Mâlik, putera yang berbakti itupun mengatakan :
ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻨﻜﺴﺮ ﻗﻠﺐ ﻣﻦ ﻋﺼﻰ ﻣﻮﻻﻩ ﻭﻋﻖ ﺃﻣﻪ ﻭﺃﺑﺎﻩ … ﻭﺃﺭﺟﻮ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺭﺍﺿﻴﺎ ﻋﻨﻲ ﺑﺮﺿﺎﻙ ﻋﻨﻲ ﻳﺎ ﺃﺑﻲ …
“Sesungguhnya hakikat hati yang remuk itu adalah apabila seseorang bermaksiat kepada tuhannya dan berbuat durhaka kepada ibu bapaknya. Saya berharap agar Allah meridhaiku melalui keridhaan anda kepadaku wahai ayahanda…”
‘Umar pun memeluk erat anaknya tersebut ke dadanya, mencium dahinya dan mendoakannya., ‘Abdul Mâlik adalah putera ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz yang paling zuhud.
[‘Al-Îd Qulûb Muwahhadah wa ‘Âdât Mukhtalafah]
Diriwayatkan bahwa Imam Mâlik bin Anas rahimahullâhu pernah berkata :
ﻟﻠﻤﺆﻣﻦ ﺧﻤﺴﺔ ﺃﻋﻴﺎﺩ : ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻳﻤﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﻭﻻ ﻳﻜﺘﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺫﻧﺐ ﻓﻬﻮ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ , ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺨﺮﺝ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺑﺎﻹﻳﻤﺎﻥ ﻓﻬﻮ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ , ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺠﺎﻭﺯ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺼﺮﺍﻁ ﻭﻳﺄﻣﻦ ﺃﻫﻮﺍﻝ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻓﻬﻮ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ , ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻓﻬﻮ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ , ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻨﻈﺮ ﻓﻴﻪ ﺇﻟﻰ ﺭﺑﻪ ﻓﻬﻮ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ
“Orang yang beriman memiliki 5 hari Ied :
Setiap hari yang berlalu melewati seorang mu’min dan tidak dicatat baginya perbuatan dosa, maka ini adalah hari Ied.
Hari yang seorang mu’min meninggalkan dunia dengan keimanan, maka ini adalah hari Ied.
Hari yang seorang mu’min bisa melewati titian Shirath dan selamat dari ujian hari kiamat yang mengerikan, maka ini adalah hari Ied.
Hari yang mana seorang mu’min masuk ke dalam surga, maka ini adalah hari Ied.
Dan hari yang mana seorang mu’min bisa memandang wajah Rabb-nya, maka inilah hari Ied.
[Farhatul Ied karya Badr ‘Abdul Hamîd Humaisoh].
0 komentar:
Posting Komentar